Kamis, 17 Oktober 2013

TUGAS FIQIH MUAMALAH : HARTA DALAM KONSEP ISLAM



TUGAS
FIQIH MUAMALAH
“HARTA DALAM KONSEP ISLAM”





Disusun oleh :
Kamia Sri Maulani






SEKOLAH TINGGI EKONOMI ISLAM TAZKIA
BOGOR



I. PENGERTIAN HARTA
            Harta dalam bahasa arab disebut al-maal, yang merupakan akar kata dari lafadz ___ yang berarti condong, cenderung, dan miring.
            Dalam al-Muhith dan Lisan Arab, menjelaskan bahwa harta merupakan segala sesuatu yang sangat diinginkan oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya. Dengan demikian unta, kambing, sapi, tanah, emas, perak, dan segala sesuatu yang disukai oleh manusia dan memiliki nilai (qimah), ialah harta kekayaan.
            -Ibnu Asyr- mengatakan bahwa “Kekayaan pada mulanya berarti emas dan perak, tetapi kemudian berubah pengertiannya menjadi segala barang yang disimpan dan dimiliki
            Sedangkan harta (al-maal), menurut Hanafiyah

ialah sesuatu yang digandrungi oleh tabiat manusia dan memungkinkan untuk disimpan hingga dibutuhkan.
            Maksud pendapat di atas definisi harta pada dasarnya merupakan sesuatu yang bernilai dan dapat disimpan. Sehingga bagi sesuatu yang tidak dapat disimpan, tidak dapat dikatagorikan sebagai harta. Adapun manfaat termasuk dalam katagori sesuatu yang dapat dimiliki, ia tidak termasuk harta. Sebaliknya tidaklah termasuk harta kekayaan sesuatu yang tidak mungkin dipunyai tetapi dapat diambil manfaatnya, seperti cahaya dan panas matahari. Begitu juga tidaklah termasuk harta kekayaan sesuatu yang pada gahlibnya tidak dapat diambil manfaatnya, tetapi dapat dipunyai secara kongrit dimiliki, seperti segenggam tanah, setetes air, seekor lebah, sebutir beras dan sebagainya.
            Dengan demikian, konsep harta menurut Imam Hanafi yaitu segala sesuatu yang memenuhi dua kriteria :
Pertama          : Sesuatu yang dipunyai dan bisa diambil manfaatnya menurut ghalib.
Kedua              : Sesuatu yang dipunyai dan bisa diambil manfaatnya secara kongkrit     (a’ayan) seperti tanah, barang-barang perlengkapan, ternak dan uang
Menurut Jumhur Ulama’ Fiqh selain Hanafiyyah mendefinisikan konsep harta sebagai berikut :

Dari pengertian di atas, Jumhur Ulama’ memberikan pandangan bahwa manfaat termasuk harta, sebab yang penting adalah manfaatnya dan bukan dzatnya. Intinya bahwa segala macam manfaat-manfaat atas sesuatu benda tersebut dapat dikuasai dengan menguasai tempat dan sumbernya, karena seseorang yang memiliki sebuah mobil misalnya, tentu akan melarang orang lain mempergunakan mobil itu tanpa izinnya.
Maksud manfaat menurut Jumhur Ulama’ dalam pembahasan ini adalah faedah atau kegunaan yang dihasilkan dari benda yang tampak seperti mendiami rumah atau mengendarai kendaraan. Adapun hak, yang ditetapkan syara’ kepada seseorang secara khusus dari penguasaan sesuatu, terkadang dikaitkan dengan harta, seperti hak milik, hak minum, dan lain lain. Akan tetapi terkadang tidak dikaitkan dengan harta, seperti hak mengasuh dan lain-lain.
Menurut Imam as-Suyuthi harta ialah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan mempunyai nilai jual yang akan terus ada, kecuali bila semua orang telah meninggalkannya. Jika baru sebagian orang saja yang meninggalkannya, barang itu mungkin masih bermanfaat bagi orang lain dan masih mempunyai nilai bagi mereka.
Menurut ahli hukum positif, dengan berpegang pada konsep harta yang disampaikan Jumhur Ulama’ selain Hanafiyyah, mereka mendefinisikan bahwa benda dan manfaat-manfaat itu adalah kesatuan dalam katagori harta kekayaan, begitu juga hak-hak, seperti hak paten, hak mengarang, hak cipta dan sejenisnya.
Ibnu Najm mengatakan bahwa harta kekayaan, sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh ulama’-ulama’ Ushul Fiqh, adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk keperluan tertentu dan hal itu terutama menyangkut yang kongkrit. Dengan demikian tidak termasuk di dalamnya pemilikan semata-semata atas manfaat-manfaat saja. Dalam hal ini, beliau menganalogikan konsep harta dalam persoalan waris dan wakaf, sebagaiman al-Kasyf al-Kabir disebutkan bahwa zakat maupun waris hanya dapat terealisasi dengan menyerahkan benda (harta atau tirkah dalam hal waris) yang kongkrit, dan tidak berlaku jika hanya kepemilikan atas manfaat semata, tanpa menguasai wujudnya.
II. UANG DAN FUNGSINYA SEBAGAI HARTA
Uang dalam ilmu ekonomi tradisional didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima secara umum. Alat tukar itu dapat berupa benda apapun yang dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa. Dalam ilmu ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lainnya serta untuk pembayaran utang. Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran.
Uang dalam bahasa arab disebut “Maal” asal katanya berarti condong, yang berarti meyondongkan mereka ke arah yang menarik, dimana uang sendiri mempunyai daya penarik, yang terbuat dari logam misalnya tembaga, emas, dan perak. Menurut fiqh ekonomi Umar RA diriwayatkan, uang adalah segala sesuatu yang dikenal dan dijadikan sebagai alat pembayaran dalam muamalah manusia. Ekonomi islam secara jelas telah membedakan antara money dan capital. Dalam islam, uang adalah public good/milik masyarakat, dan oleh karenanya penimbunan uang (atau dibiarkan tidak produktif) berarti mengurangi jumlah uang beredar. Implikasinya, proses pertukaran dalam perekonomian terhambat. Di samping itu penumpukan uang/harta juga mendorong manusia cenderung pada sifat-sifat tidak baik seperti tamak, rakus dan malas beramal. Sifat-sifat tidak baik ini juga mempunyai imbas yang tidak baik terhadap kelangsungan perekonomian. Oleh karenanya islam melarang penumpukan/penimbunan harta, memonopoli kekayaan sebagaiman telah disebutkan dalam QS At-Taubah 34-35 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”

            Adapun fungsi uang dalam ekonomi konvensioan diantaranya :
a)            Sebagai alat pembayaran/ pertukaran (medium of exchange).
Uang digunakan sebagai alat pembayaran dalam setiap transaksi barang dan jasa setiap hari. Dengan adanya uang, kegiatan transaksi tukar- menukar barang jadi jauh lebih mudah.
b)      Sebagai alat penyimpan kekayaan (store of value).
Uang merupakan salah satu alat penyimpan  kekayaan, apabila harga barang di pasaran stabil, maka menyimpan kekayaan dalam bentuk uang lebih menguntungkan daripada menyimpannya dalam bentuk barang.
c)      Unit of account (satuan penghitungan).
Uang digunakan sebagai alat ukur untuk mengukur besarnya nilai suatu barang atau jasa. Satuan nilai adalah satuan ukuran yang menentukan besar kecilnya nilai barang. Dengan adanya uang, nilai suatu barang dapat mudah dinyatakan. Misalnya dengan menunjukkan jumlah uang yang yang diperlukan untuk meperolehi barang tersebut. Di samping itu bisa juga untuk menentukkan nilai suatu barang dibandingkan dengan barang lainnya.
d)      Sebagai alat pembayaran tertunda (deferment payment)
Uang bisa digunakan sebagai alat transaksi yang pembayarannya dilakukan pada waktu yang akan datang, misalnya untuk membayar utang. Penggunaan uang sebagai alat perantaraan dapat mendorong perkembangan perdagangan, karena penjual lebih yakin bahwa pembayarannya akan sesuai dengan yang diharapkannya.



Sedangkan dalam ekonomi islam hanya dikenal adanya 2 fungsi uang yaitu :
a)      Medium of Exchange (for transaction)
Dalam islam, fungsi pertama ini jelas bahwa uang hanya berfungsi sebagai medium of exchange. Uang menjadi media untuk merubah barang dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain, sehingga uang tidak bisa dijadikan komoditi.
b)      Unit of Account
Fungsi kedua dari uang dalam islam adalah sebagai unit of account. Imam Ghazali mengatakan bahwa dalam ekonomi barter sekalipun uang tetap diperlukan. Seandainya uang tersebut tidak diterima sebagai medium of exchange, uang tetap diperlukan sebagai unit of account misalnya untuk mengetahui apakah 3 buah topi sama dengan 1 durian?
            Ketika teori konvensional memasukkan satu dari fungsi uang adalah sebagai store of value dimana termasuk juga adanya motif money demand for speculation. Hal ini tidak diperbolehkan dalam islam. Islam memperbolehkan uang untuk transaksi dan untuk berjaga-jaga, namun menolak uang untuk spekulasi. Hal ini, menurut Al-Ghazali sama saja dengan memenjarakan fungsi uang.
            Dalam konsep islam, uang tidak masuk dalam fungsi utility kita, karena sebenarnya manfaat yang kita dapatkan bukan dari uang itu sendiri, tetapi dari fungsi uang.
Islam juga tidak mengenal konsep time value of money. Akan tetapi, economic value of time yang dikenal dalam islam. Maknanya adalah bahwa time akan mempunyai economic value jika waktu tersebut ditambah dengan faktor produksi lain, sehingga menjadi capital dan dapat menjadi return. Jadi faktor yang menentukan nilai waktu adalah bagaimana seseorang memanfaatkan waktu itu. Semakin efektif (doing the right things), dan efisien (doing the thing right), maka akan semakin tinggi nilai waktunya.

III. HAK DAN MANFAAT HARTA
            Madzhab hanafi meringkas definisi harta pada sesuatu dzat yang bersifat materi. Dalam arti memiliki bentuk yang dapat dilihat atau diraba. Dengan demikian hak dan manfaat termasuk tidak termasuk dalam katagori harta, akan tetapi merupakan kepemilikan.
            Berbeda dengan ulama fiqh selain hanafiyah. Menurut mereka, hak dan manfaat termasuk harta. Dengan alasan, maksud dan tujuan memiliki sesuatu adalah karena terdapat manfaat yang dapat diterima bukan karena dzatnya. Atas dasar adanya manfaat tersebut manusia berusaha untuk menjaga dan menyimpan kemanfaatan yang terdapat dalam dzat tersebut.
            Yang dimaksud dengan manfaat adalah faidah atau fungsi yang terdapat dalam suatu dzat (benda, materi), seperti menempati rumah, mengendarai mobil, atau memakai pakaian. Dalam arti, dengan memiliki mobil, maka manfaat yang bisa dirasakan adalah kita bisa mengendarainya ke suatu tempat yang kita inginkan. Dengan memiliki pakaian, maka kita bisa memakainya untuk menutup aurat dan seterusnya. Ini adalah manfaat.
            Jadi, sebenarnya maksud dari memiliki sesuatu adalah karena terdapat manfaat yang kita dapat rasakan, bukan karena dzatnya. Jika misalnya, mobil yang kita miliki sudah tidak bisa kita kendarai, tentunya mobil tersebut tidak akan kita pakai lagi, walaupun secaram fisik mungkin masih terlihat bagus.
            Sedangkan hak adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh syara’ terhadap seseorang untuk diberi kekhususan atas suatu kekuasaan atau suatu beban hokum tertentu. Artinya, dengan adanya hak, seseorang memiliki kekuasaan atau kekebalan hukum atas sesuatu yang diakui oleh syara’. Pemilik hak tersebut memiliki wewenang atau kuasa penuh atas barang yang telah dibenarkan oleh syara’ untuknya. Terkadang hak itu berhubungan dengan harta, seperti hak kepemilikan, hak untuk merawat dan memelihara kebun, dan lainnya. Tapi, terkadang juga tidak berhubungan dengan harta, seperti hak untuk merawat anak.
            Manfaat dan hak yang terkait dengan harta, ataupun hak yang tidak terkait dengan harta, menurut pandangan hanafiyah tidak termasuk dalam katagori harta. Karena tidak dimungkinkan untuk memiliki dan menyimpan dzatnya. Selain itu, manfaat dan hak bersifat maknawi, tidak permanen dan akan berkurang secara bertahap.
            Menurut Jumhur Ulama, hak dan manfaat tetap merupakan harta, karena bisa dimungkinkan untuk memiliki dan menjaganya, yaitu dengan menjaga asal dan sumbernya. Dengan alasan, karena ada hak dan manfaatlah seseorang bermaksud untuk memiliki suatu benda
(dzat, materi). Dan karenanya, orang suka dan berlomba untuk mendapatkannya. Jika sudah tidak terdapat manfaat dan hak pada suatu benda, maka tidak mungkin orang akan mengejar untuk memiliki suatu benda.
            Bedasarkan penjelasan ini, dapat dipahami bahwa substansi seseorang memiliki benda (dzat, materi) adalah karena adanya unsur manfaat, jika manfaat itu telah tiada, maka ia akan cenderung untuk meninggalkannya.
            Adanya perbedaan pandangan ini mempunyai implikasi hukum tertentu, khususnya dalam hal ghasab (menggunakan barang orang lain tanpa izin pemilik), ijarah (sewa menyewa) atau pun hukum waris. Menurut hanafiyah, orang yang meng-ghasab barang orang lain dalam kurun waktu tertentu, kemudian barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya, maka orang yang meng-ghasab tersebut tidak berkewajiban untuk mengganti nilai manfaat yang telah dipakai. Dengan catatan, barang tersebut masih utuh dan bukan milik anak yatim, barang waqf, atau barang yang secara khusus dimaksudkan untuk dikomersilkan. Berbeda dengan jumhur ulama, si peng-ghasab berkewajiban untuk mengganti nilai manfaat selama ia menggunakan barang ghasab tersebut.
            Menurut hanafiyah, akad ijarah dengan sendirinya akan selesai (berhenti) dengan meninggalnya pemilik barang yang disewakan, karena manfaat bukan harta, sehingga dapat diwariskan. Mayoritas ulama fiqh mengatakan, akad ijarah  tetap berlangsung walaupun pemiliknya telah meninggal dunia sampai batas waktu yang telah disepakati dalam akad.
            Adapun manfaat harta diantaranya :
1.      Untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas (mahdhah), sebab untuk ibadah memerlukan alat-alat seperti kain untuk menutup aurat dalam pelaksanaan shalat, bekal untuk melaksanakan ibadah haji, berzakat, shadaqah, hibbah dan yang lainnya.
2.      Untuk meningkatkan keimanan (ketaqwaan) kepada Allah.
3.      Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat (HR Bukhari) :


Artinya : Bukanlah orang yang baik, yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah akhirat, dan meninggalkan masalah akhirat untuk urusan duniawi, sehingga seimbang diantara keduanya. Karena masalah dunia adalah menyampaikan manusia kepada masalah akhirat.
4.      Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode berikutnya.(QS An-Nisa :9)



Artinya : Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
5.      Untuk mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu, karena menurut ilmu tanpa modal akan tersa sulit, seperti sesorang tidak bisa kuliah di perguruan tinggi bila ia tidak memiliki biaya.
6.      Untuk memutarkan (mentasharuf) peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan tuan. Adanya orang kaya dan miskin sehingga antara pihak saling membutuhkan karena itu tersusunlah masyarakat yang harmonis dan berkecukupan.
7.      Untuk menumbuhkan silahturrahim, karena adanya perbedaan dan keperluan sehingga terjadilah interaksi dan komunikasi silaturrahim dalam rangka saling mencukupi kebutuhan.
8.      Sebagai amanat (titipan)
IV. PEMBAGIAN JENIS-JENIS HARTA
            Menurut Fuqaha’ harta dapat ditinjau dari beberapa bagian yang setiap bagian memilik cirri-ciri khusus dan hukumnya tersendiri yang berdampak atau berkaitan dengan beragam hukum (ketetapan). Namun, pada pembahasan ini hanya akan dijelaskan beberapa bagian yang masyhur yaitu sebagai berikut :
1.      Mal Mutaqawwim dan Ghair al-Mutaqawwim
a.       Harta Mutaqawwim
 ialah sesuatu yang memiliki nilai dari segi hukum syar’I”. Yang dimaksud harta Mutaqawwim dalam pembahasan ini ialah segala sesuatu yang dapat dikuasai dengan perkerjaan dan dibolehkan syara’ untuk memanfaatkannya. Pemahaman tersebut bermakna bahwa tiap pemanfaatan atas sesuatu berhubungan erat dengan ketentuan nilai positif dari segi hukum, yang terkait pada cara perolehan maupun penggunaannya.
Misalnya, kerbau halal dimakan oleh umat islam, tetapi, apabila kerbau tersebut disembelih tidak menurut syara’, semisal dipukul. Maka daging kerbau tersebut tidak bisa dimanfaatkan karena cara penyembelihannya batal (tidak sah) menurut syara’.
b.      Harta Ghair al-Mutaqawwim 
Ialah sesuatu yang tidak memiliki nilai dari segi hukum syar’i. Maksud pengertian harta Ghair al-Mutaqawwim merupakan kebalikan dari harta mutaqawwim, yakni segala sesuatu yang tidak dapat dikuasai dengan perkerjaan dan dilarang oleh syara’ untuk memanfaatkannya.
Harta dalam pengertian ini, dilarang oleh syara’ diambil manfaatnya, terkait jenis benda tersebut dan cara memperolehnya maupun penggunaannya. Misalnya babi termasuk harta Ghair al-Mutaqawwim , karena jenisnya. Sepatu yang diperoleh dengan cara mencuri temasuk Ghair al-Mutaqawwim, karena cara memperolehnya yang haram. Uang disumbangkan untuk pembangunan tempat pelacuran, termasuk Ghair al-Mutaqawwim karena penggunaannya dilanggar syara’.
Kadang-kadang harta mutaqawwim diartikan dengan dzimah, yaitu sesuatu yang mempunyai nilai, seperti pandangan fuqaha’ : sesuatu dinyatakan bermanfaat itu tidak dinilai dengan sendirinya, tetapi ia dilihat dengan adanya akad sewa-menyewa yang dimaksudkan untuk memenuhi keperluan.


2.      Mal Mitsli dan Mal Qimi
a.       Harta Mitsli
Ialah harta yang ada persamaannya dalam kesatuan-kesatuannya, dalam arti dapat berdiri sebagiannya di tempat yang lain tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai. Dalam pembagian ini, harta diartikan sebagai sesuatu yang memiliki persamaan atau kesetaraan di pasar, tidak ada perbedaan yang pada bagian-bagiannya atau kesatuannya, yaitu perbedaan atau kekurangan yang biasa terjadi dalam aktivitas ekonomi.
Harta mitsli terbagi atas empat bagian yaitu: harta yang ditakar, seperti gandum, harta yang ditimbang, seperti kapas dan besi, harta yang dihitung, seperti telur, dan harta yang dijual dengan meter, seperti kain, papan, dan lain-lainnya.
b.      Harta Qimi
Yaitu harta yang tidak mempunyai persamaan di pasar atau mempunyai persamaan, tetapi ada perbedaan menurut kebiasaan antara kesatuannya pada nilai, seperti binatang dan pohon.
Dengan perkataan lain, pengertian kedua jenis harta di atas ialah mitsli berarti jenisnya mudah ditemukan atau diperoleh di pasaran (secara persis), dan qimi  suatu benda yang jenisnya sulit didapatkan serupanya secara persis, walau bisa ditemukan, tetapi jenisnya berbeda dalam nilai harga yang sama. Jadi, harta yang ada duanya disebut mitsli dan harta yang tidak duanya secara tepat disebut qimi.
      Perlu diketahui bahwa harta yang dikatagorikan sebagai qimi ataupun mitsli tersebut bersifat amat relatif dan kondisional. Artinya bisa saja di suatu tempat atau negara yang satu menyebutnya qimi dan di tempat yang lain menyebutnya mitsli
3.      Mal Istihlak dan Mal Isti’mal
a.       Harta istihlak
Yaitu sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaan dan manfaatnya, kecuali dengan menghabiskannya atau merusak dzatnya. Harta dalam katagori ini ialah harta sekali pakai, artinya manfaat dari benda tersebut hanya bisa digunakan sekali saja.
Harta istihlak dibagi menjadi dua, yaitu istihlak haqiqi dan istihlak huquqi. Istihlak haqiqi yaitu suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas (nyata) dzatnya habis sekali digunakan. Misalnya makanan, minuman, kayu bakar dan sebagainya.
Sedangkan istihlak huquqi ialah harta yang sudah habis nilainya bila telah digunakan, tetapi dzat nya masih ada. Misalnya uang, uang yang digunakan untuk membayar hutang, dipandang habis menurut hukum walaupun uang tersebut masih utuhm hanya pindah kepemilikan.
b.      Harta Isti’mal
Ialah harta yang dapat digunakan berulang kali, artinya wujud benda tersebut tidaklah habis atau musnah dalam sekali pemakaian, seperti kebun, tempat tidur, baju, sepatu, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, perbedaan antara dua jenis harta tersebut di atas, terletak pada dzat benda itu sendiri, mal istihlak habis dzatnya dalam sekali pemakaian dan mal isti’mal tidak habis dalam sekali pemanfaatan (bisa dipakai berulang-ulang).
4.      Mal Manqul dan Mal Ghair al-Manqul
a.       Harta Manqul
Ialah segala macam sesuatu yang dapat dipindahkan dan diubah dari tempat satu ketempat yang lain, baik tetap pada bentuk dan keadaan semula ataupun berubah bentuk dan keadaannya dengan perpindahan dan perubahan tersebut. Harta dalam katagori ini mencakup uang, barang dagangan, macam-macam hewan, kendaraan, macam-macam benda yang ditimbang dan diukur.
b.      Harta Ghair al-Manqul atau Al-Aqar
Ialah segala sesuatu yang tetap (harta tetap), yang tidak mungkin dipindahkan dan diubah posisinya dari satu tempat ke tempat yang lain menurut asalnya, seperti kebun, rumah, pabrik, sawah, dan lainnya. Dalam ketentuan kitab undang-undang hukum perdata, istilah Mal Manqul dan Mal Ghair al-Manqul (al-Aqar) diartikan dengan istilah benda bergerak dan atau benda tetap
5.      Mal ‘Ain dan Mal Dayn
a.       Harta ‘Ain
Ialah harta yang berbentuk benda, seperti rumah, pakaian, beras, kendaraan, dan yang lainnya. Harta ‘Ain dibagi menjadi 2 bagian :
1.      Harta ‘Ain Dzati Qimah yaitu benda yang memiliki bentuk yang dipandang sebagai harta karena memiliki nilai. Harta ‘ain dzati qimah meliputi :
a.       Benda yang dianggap harta yang boleh diambil manfaatnya.
b.      Benda yang dianggap harta yang tidak boleh diambil manfaatnya.
c.       Benda yang dianggap sebagai harta yang ada sebangsanya.
d.      Benda yang dianggap harta yang tidak ada atau sulit dicari sepadanya yang serupa.
e.       Benda yang dianggap harta berharga dan dapat dipindahkan (bergerak)
f.       Benda yang dianggap harta berharga dan tidak dapat dipisahkan (tetap)
2.      Harta ‘Ain Ghayr Dzati Qimah yaitu benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta, karena tidak memiliki nilai atau harga, misalnya sebiji beras.
b.      Harta Dayn
Ialah kepemilikan atas suatu harta dimana harta masih berada dalam tanggung jawab seseorang, artinya si pemilik hanya memiliki harta tersebut, namun ia tidak memiliki wujudnya dikarenakan berada dalam tanggungan orang lain.
Menurut Hanafiyah harta tidak dapat dibagi menjadi harta ‘ain dan dayn karena konsep harta menurut hanafiyah merupakan segala sesuatu yang berwujud (kongkrit), maka bagi sesuatu yang tidak memiliki wujud riil tidaklah dapat dianggap sebagai harta, semisal hutang. Hutang tidak dipandang sebagai harta, tetapi hutang menurut Hanafiyah merupakan sifat pada tanggung jawab (washf fii al-dzimmah)
6.      Mal ‘Aini dan Mal Naf’I (manfaat)
a.       Harta al- ‘Aini ialah benda yang memiliki nilai dan berbentuk (berwujud), misalnya rumah, ternak, dan lainnya.
b.      Harta an-Nafi’ ialah a’radl yang berangsunr-angsur tumbuh menurut perkembangan masa, oleh karena itu mal al-Naf’I tidak berwujud dan tidak mungkin disimpan.
Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa harta ‘ain dan harta naf’i memiliki perbedaan, dan manfaat dianggap sebagai harta mutaqawwim karena manfaat adalag maksud yang diharapkan dari kepemilikan suatu harta benda.
7.      Mal Mamluk, Mubah dan Mahjur
a.       Harta Mamluk
ialah sesuatu yang merupakan hak milik baik milik perorangan maupun milik badan seperti pemerintah dan yayasan. Harta mamluk terbagi menjadi dua macam, yaitu :
1.      Harta perorangan (mustaqih) yang berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya rumah yang dikontrakkan. Harta perorangan yang tidak berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya seorang yang mempunyai sepasang sepatu dapat digunakan kapan saja.
2.      Harta pengkongsian antara dua pemilik yang berkaitan dengan hak yang bukan pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik dan lima buah mobil, salah satu mobilnya disewakan selama satu bulan kepada orang lain. Harta yang dimiliki oleh dua orang yang tidak berkaitan dengan hak bukan pemiliknya, semisal dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik, maka pabrik tersebut di hasruslah dikelola bersama.

b.      Harta Mubah
Yaitu sesuatu yang pada asalnya bukan merupakan hak milik perseorangan seperti air pada air mata, binatang buruan darat, laut, pohon-pohon di lautan dan buah-buahannya. Tiap-tiap manusia boleh memiliki harta mubah sesuai dengan kesanggupannya, orang yang mengambilnya akan menjadi pemiliknya, sesuai dengan kaidah : “Barang siapa yang membebaskan harta yang tidak bertuan, maka ia menjadi pemiliknya”
c.       Harta Mahjur
Yaitu harta yang dilarang oleh syara’ untuk dimiliki sendiri dan memberikannya kepada orang lain. Adakalanya harta tersebut berbentuk wakaf ataupun benda yang dukhususkan untuk masyarakat umum, seperti jalan raya, masjid-masjid, kuburan-kuburan, dan yang lainnya.
8.      Harta Yang Dapat Dibagi dan Harta Yang Tidak Dapat Dibagi
a.       Harta yang dapat dibagi (mal qabil li al-qismah) ialah harta yang tidak menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan bila harta itu dibagi-bagi, misalnya beras, jagung, tepung dan sebagainya.
b.      Harta yang dapat dibagi (mal ghair al-qabil li al-qismah) ialah harta yang menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagi misalnya gelas, kemeja, mesin dan sebagainya.
9.      Harta Pokok (ashl) dan Harta Hasil (tsamar)
a.       Harta pokok ialah harta yang memungkinkan darinya muncul harta lain
b.      Harta hasil ialah harta yang muncul dari harta lain (harta pokok)
Pokok harta juga bisa disebut modal, misalnya uang, emas, dan yang lainnya, contoh harta pokok dan harta hasil ialah bulu domba dihasilkan dari domba, maka domba merupakan harta pokok dan bulunya merupakan harta hasil, atau kebau yang beranak, anaknya dianggap sebagai tsamarah dan induknya yang melahirkan disebut harta pokok.
10.  Mal Khas dan Mal ‘Am  
a.       Harta khas ialah harta pribadi, tidak bersekutu dengan yang lain, tidak boleh diambil manfaatnya tanpa disetujui pemiliknya.
b.      Harta ‘Am ialah harta milik umum (bersama) yang boleh diambil manfaatnya secara bersama-sama.
Harta yang dapat dikuasai (ikhraj) terbagi menjadi dua bagian yaitu :
a)      Harta yang termasuk milik perseorangan
b)      Harta-harta yang tidak dapat termasuk milik perseorangan
Harta yang dapat masuk menjadi milik perseorangan, ada dua macam yaitu :
a.       Harta yang bisa menjadi milik perorangan, tetapi belum ada sebab pemilikan, misalnya binatang buruan di hutan.
b.      Harta yang bisa menjadi milik perorangan dan sudah ada sebab kepemilikan misalnya ikan di sungai diperoleh seseorang dengan cara memancing.
c.       Harta yang tidak masuk milik perorangan adalah harta yang menurut syara’ tidak boleh dimiliki sendiri, misalnya sungai, jalan raya dan yang lainnya.
Dari kesepuluh pembagian jenis-jenis harta yang telah diuraikan di atas, secara global konsep  harta dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.      Mal at-Tam yaitu harta yang merupakan hak milik sempurna baik dari segi wujud benda tersebut maupun manfaatnya, pengertian harta ini disebut juga Milk at-Tam berarti kepemilikan sempurna atas unsure hak milik dan hak penggunaannya.
2.      Mal Ghair al-Tam yaitu harta yang bukan merupakan hak milik sempurna baik dari segi wujud benda tersebut maupun dari segi manfaatnya, pengertian harta ini disebut juga Milk an-Naqis yang berarti kepemilikan atas unsur harta hanya dari satu segi saja. Semisal hak pakai rumah kontrakan dan sebagainya.