TUGAS
FIQIH MUAMALAH
“HARTA DALAM KONSEP ISLAM”
Disusun oleh :
Kamia Sri Maulani
SEKOLAH TINGGI EKONOMI ISLAM TAZKIA
BOGOR
I. PENGERTIAN HARTA
Harta dalam bahasa arab disebut al-maal, yang merupakan akar kata dari
lafadz ___ yang berarti condong, cenderung, dan miring.
Dalam al-Muhith dan Lisan Arab, menjelaskan bahwa harta merupakan segala
sesuatu yang sangat diinginkan oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya.
Dengan demikian unta, kambing, sapi, tanah, emas, perak, dan segala sesuatu
yang disukai oleh manusia dan memiliki nilai (qimah), ialah harta kekayaan.
-Ibnu Asyr- mengatakan bahwa
“Kekayaan pada mulanya berarti emas dan perak, tetapi kemudian berubah
pengertiannya menjadi segala barang yang disimpan dan dimiliki
Sedangkan harta (al-maal), menurut Hanafiyah
ialah
sesuatu yang digandrungi oleh tabiat manusia dan memungkinkan untuk disimpan
hingga dibutuhkan.
Maksud pendapat di atas definisi
harta pada dasarnya merupakan sesuatu yang bernilai dan dapat disimpan.
Sehingga bagi sesuatu yang tidak dapat disimpan, tidak dapat dikatagorikan
sebagai harta. Adapun manfaat termasuk dalam katagori sesuatu yang dapat
dimiliki, ia tidak termasuk harta. Sebaliknya tidaklah termasuk harta kekayaan
sesuatu yang tidak mungkin dipunyai tetapi dapat diambil manfaatnya, seperti
cahaya dan panas matahari. Begitu juga tidaklah termasuk harta kekayaan sesuatu
yang pada gahlibnya tidak dapat diambil manfaatnya, tetapi dapat dipunyai secara
kongrit dimiliki, seperti segenggam tanah, setetes air, seekor lebah, sebutir
beras dan sebagainya.
Dengan demikian, konsep harta
menurut Imam Hanafi yaitu segala sesuatu yang memenuhi dua kriteria :
Pertama : Sesuatu yang dipunyai dan bisa
diambil manfaatnya menurut ghalib.
Kedua : Sesuatu yang
dipunyai dan bisa diambil manfaatnya secara kongkrit (a’ayan)
seperti tanah, barang-barang perlengkapan, ternak dan uang
Menurut
Jumhur Ulama’ Fiqh selain Hanafiyyah mendefinisikan konsep harta sebagai berikut
:
Dari
pengertian di atas, Jumhur Ulama’ memberikan pandangan bahwa manfaat termasuk
harta, sebab yang penting adalah manfaatnya dan bukan dzatnya. Intinya bahwa
segala macam manfaat-manfaat atas sesuatu benda tersebut dapat dikuasai dengan
menguasai tempat dan sumbernya, karena seseorang yang memiliki sebuah mobil
misalnya, tentu akan melarang orang lain mempergunakan mobil itu tanpa izinnya.
Maksud
manfaat menurut Jumhur Ulama’ dalam pembahasan ini adalah faedah atau kegunaan
yang dihasilkan dari benda yang tampak seperti mendiami rumah atau mengendarai
kendaraan. Adapun hak, yang ditetapkan syara’ kepada seseorang secara khusus
dari penguasaan sesuatu, terkadang dikaitkan dengan harta, seperti hak milik,
hak minum, dan lain lain. Akan tetapi terkadang tidak dikaitkan dengan harta,
seperti hak mengasuh dan lain-lain.
Menurut
Imam as-Suyuthi harta ialah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan mempunyai
nilai jual yang akan terus ada, kecuali bila semua orang telah meninggalkannya.
Jika baru sebagian orang saja yang meninggalkannya, barang itu mungkin masih
bermanfaat bagi orang lain dan masih mempunyai nilai bagi mereka.
Menurut
ahli hukum positif, dengan berpegang pada konsep harta yang disampaikan Jumhur
Ulama’ selain Hanafiyyah, mereka mendefinisikan bahwa benda dan manfaat-manfaat
itu adalah kesatuan dalam katagori harta kekayaan, begitu juga hak-hak, seperti
hak paten, hak mengarang, hak cipta dan sejenisnya.
Ibnu
Najm mengatakan bahwa harta kekayaan, sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh
ulama’-ulama’ Ushul Fiqh, adalah
sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk keperluan tertentu dan hal itu
terutama menyangkut yang kongkrit. Dengan demikian tidak termasuk di dalamnya
pemilikan semata-semata atas manfaat-manfaat saja. Dalam hal ini, beliau
menganalogikan konsep harta dalam persoalan waris dan wakaf, sebagaiman al-Kasyf al-Kabir disebutkan bahwa zakat
maupun waris hanya dapat terealisasi dengan menyerahkan benda (harta atau tirkah dalam hal waris) yang kongkrit,
dan tidak berlaku jika hanya kepemilikan atas manfaat semata, tanpa menguasai
wujudnya.
II. UANG DAN FUNGSINYA SEBAGAI
HARTA
Uang
dalam ilmu ekonomi tradisional
didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima secara umum. Alat
tukar itu dapat berupa benda apapun yang dapat diterima oleh setiap orang
di masyarakat dalam proses
pertukaran barang dan jasa.
Dalam ilmu ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan
secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan
jasa-jasa serta kekayaan berharga lainnya serta untuk pembayaran utang.
Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran.
Uang
dalam bahasa arab disebut “Maal” asal katanya berarti condong, yang berarti
meyondongkan mereka ke arah yang menarik, dimana uang sendiri mempunyai daya
penarik, yang terbuat dari logam misalnya tembaga, emas, dan perak. Menurut
fiqh ekonomi Umar RA diriwayatkan, uang adalah segala sesuatu yang dikenal dan
dijadikan sebagai alat pembayaran dalam muamalah manusia. Ekonomi islam secara
jelas telah membedakan antara money dan capital. Dalam islam, uang adalah
public good/milik masyarakat, dan oleh karenanya penimbunan uang (atau
dibiarkan tidak produktif) berarti mengurangi jumlah uang beredar.
Implikasinya, proses pertukaran dalam perekonomian terhambat. Di samping itu
penumpukan uang/harta juga mendorong manusia cenderung pada sifat-sifat tidak
baik seperti tamak, rakus dan malas beramal. Sifat-sifat tidak baik ini juga
mempunyai imbas yang tidak baik terhadap kelangsungan perekonomian. Oleh
karenanya islam melarang penumpukan/penimbunan harta, memonopoli kekayaan
sebagaiman telah disebutkan dalam QS At-Taubah 34-35 yang artinya :
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim
yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan
batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang
yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka
beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”
Adapun
fungsi uang dalam ekonomi konvensioan diantaranya :
a)
Sebagai alat pembayaran/ pertukaran (medium of
exchange).
Uang
digunakan sebagai alat pembayaran dalam setiap transaksi barang dan jasa setiap
hari. Dengan adanya uang, kegiatan transaksi tukar- menukar barang jadi jauh
lebih mudah.
b)
Sebagai alat penyimpan kekayaan (store of value).
Uang
merupakan salah satu alat penyimpan kekayaan, apabila harga barang di
pasaran stabil, maka menyimpan kekayaan dalam bentuk uang lebih menguntungkan
daripada menyimpannya dalam bentuk barang.
c) Unit of account
(satuan penghitungan).
Uang
digunakan sebagai alat ukur untuk mengukur besarnya nilai suatu barang atau
jasa. Satuan nilai adalah satuan ukuran yang menentukan besar kecilnya nilai
barang. Dengan adanya uang, nilai suatu barang dapat mudah dinyatakan. Misalnya
dengan menunjukkan jumlah uang yang yang diperlukan untuk meperolehi barang
tersebut. Di samping itu bisa juga untuk menentukkan nilai suatu barang
dibandingkan dengan barang lainnya.
d)
Sebagai alat pembayaran tertunda (deferment payment)
Uang bisa
digunakan sebagai alat transaksi yang pembayarannya dilakukan pada waktu yang
akan datang, misalnya untuk membayar utang. Penggunaan uang sebagai alat
perantaraan dapat mendorong perkembangan perdagangan, karena penjual lebih
yakin bahwa pembayarannya akan sesuai dengan yang diharapkannya.
Sedangkan
dalam ekonomi islam hanya dikenal adanya 2 fungsi uang yaitu :
a) Medium
of Exchange (for transaction)
Dalam islam,
fungsi pertama ini jelas bahwa uang hanya berfungsi sebagai medium of exchange.
Uang menjadi media untuk merubah barang dari bentuk yang satu ke bentuk yang
lain, sehingga uang tidak bisa dijadikan komoditi.
b) Unit
of Account
Fungsi kedua
dari uang dalam islam adalah sebagai unit of account. Imam Ghazali mengatakan
bahwa dalam ekonomi barter sekalipun uang tetap diperlukan. Seandainya uang
tersebut tidak diterima sebagai medium of exchange, uang tetap diperlukan
sebagai unit of account misalnya untuk mengetahui apakah 3 buah topi sama
dengan 1 durian?
Ketika
teori konvensional memasukkan satu dari fungsi uang adalah sebagai store of
value dimana termasuk juga adanya motif money demand for speculation. Hal ini
tidak diperbolehkan dalam islam. Islam memperbolehkan uang untuk transaksi dan
untuk berjaga-jaga, namun menolak uang untuk spekulasi. Hal ini, menurut
Al-Ghazali sama saja dengan memenjarakan fungsi uang.
Dalam
konsep islam, uang tidak masuk dalam fungsi utility kita, karena sebenarnya
manfaat yang kita dapatkan bukan dari uang itu sendiri, tetapi dari fungsi
uang.
Islam juga
tidak mengenal konsep time value of money. Akan tetapi, economic value of time
yang dikenal dalam islam. Maknanya adalah bahwa time akan mempunyai economic
value jika waktu tersebut ditambah dengan faktor produksi lain, sehingga
menjadi capital dan dapat menjadi return. Jadi faktor yang menentukan nilai
waktu adalah bagaimana seseorang memanfaatkan waktu itu. Semakin efektif (doing
the right things), dan efisien (doing the thing right), maka akan semakin
tinggi nilai waktunya.
III.
HAK DAN MANFAAT HARTA
Madzhab hanafi meringkas definisi
harta pada sesuatu dzat yang bersifat materi. Dalam arti memiliki bentuk yang
dapat dilihat atau diraba. Dengan demikian hak dan manfaat termasuk tidak
termasuk dalam katagori harta, akan tetapi merupakan kepemilikan.
Berbeda dengan ulama fiqh selain
hanafiyah. Menurut mereka, hak dan manfaat termasuk harta. Dengan alasan,
maksud dan tujuan memiliki sesuatu adalah karena terdapat manfaat yang dapat
diterima bukan karena dzatnya. Atas dasar adanya manfaat tersebut manusia
berusaha untuk menjaga dan menyimpan kemanfaatan yang terdapat dalam dzat
tersebut.
Yang dimaksud dengan manfaat adalah
faidah atau fungsi yang terdapat dalam suatu dzat (benda, materi), seperti
menempati rumah, mengendarai mobil, atau memakai pakaian. Dalam arti, dengan
memiliki mobil, maka manfaat yang bisa dirasakan adalah kita bisa
mengendarainya ke suatu tempat yang kita inginkan. Dengan memiliki pakaian,
maka kita bisa memakainya untuk menutup aurat dan seterusnya. Ini adalah
manfaat.
Jadi, sebenarnya maksud dari
memiliki sesuatu adalah karena terdapat manfaat yang kita dapat rasakan, bukan
karena dzatnya. Jika misalnya, mobil yang kita miliki sudah tidak bisa kita
kendarai, tentunya mobil tersebut tidak akan kita pakai lagi, walaupun secaram
fisik mungkin masih terlihat bagus.
Sedangkan hak adalah sesuatu yang
telah ditetapkan oleh syara’ terhadap seseorang untuk diberi kekhususan atas
suatu kekuasaan atau suatu beban hokum tertentu. Artinya, dengan adanya hak,
seseorang memiliki kekuasaan atau kekebalan hukum atas sesuatu yang diakui oleh
syara’. Pemilik hak tersebut memiliki wewenang atau kuasa penuh atas barang
yang telah dibenarkan oleh syara’ untuknya. Terkadang hak itu berhubungan
dengan harta, seperti hak kepemilikan, hak untuk merawat dan memelihara kebun,
dan lainnya. Tapi, terkadang juga tidak berhubungan dengan harta, seperti hak
untuk merawat anak.
Manfaat dan hak yang terkait dengan harta,
ataupun hak yang tidak terkait dengan harta, menurut pandangan hanafiyah tidak
termasuk dalam katagori harta. Karena tidak dimungkinkan untuk memiliki dan
menyimpan dzatnya. Selain itu, manfaat dan hak bersifat maknawi, tidak permanen
dan akan berkurang secara bertahap.
Menurut Jumhur Ulama, hak dan
manfaat tetap merupakan harta, karena bisa dimungkinkan untuk memiliki dan
menjaganya, yaitu dengan menjaga asal dan sumbernya. Dengan alasan, karena ada
hak dan manfaatlah seseorang bermaksud untuk memiliki suatu benda
(dzat, materi). Dan karenanya, orang suka dan berlomba untuk mendapatkannya. Jika sudah tidak terdapat manfaat dan hak pada suatu benda, maka tidak mungkin orang akan mengejar untuk memiliki suatu benda.
(dzat, materi). Dan karenanya, orang suka dan berlomba untuk mendapatkannya. Jika sudah tidak terdapat manfaat dan hak pada suatu benda, maka tidak mungkin orang akan mengejar untuk memiliki suatu benda.
Bedasarkan penjelasan ini, dapat
dipahami bahwa substansi seseorang memiliki benda (dzat, materi) adalah karena
adanya unsur manfaat, jika manfaat itu telah tiada, maka ia akan cenderung
untuk meninggalkannya.
Adanya perbedaan pandangan ini
mempunyai implikasi hukum tertentu, khususnya dalam hal ghasab (menggunakan barang orang lain tanpa izin pemilik), ijarah (sewa menyewa) atau pun hukum
waris. Menurut hanafiyah, orang yang meng-ghasab
barang orang lain dalam kurun waktu tertentu, kemudian barang tersebut
dikembalikan kepada pemiliknya, maka orang yang meng-ghasab tersebut tidak berkewajiban untuk mengganti nilai manfaat
yang telah dipakai. Dengan catatan, barang tersebut masih utuh dan bukan milik
anak yatim, barang waqf, atau barang yang secara khusus dimaksudkan untuk
dikomersilkan. Berbeda dengan jumhur ulama, si peng-ghasab berkewajiban untuk mengganti nilai manfaat selama ia
menggunakan barang ghasab tersebut.
Menurut hanafiyah, akad ijarah dengan sendirinya akan selesai
(berhenti) dengan meninggalnya pemilik barang yang disewakan, karena manfaat
bukan harta, sehingga dapat diwariskan. Mayoritas ulama fiqh mengatakan, akad ijarah tetap berlangsung walaupun pemiliknya telah
meninggal dunia sampai batas waktu yang telah disepakati dalam akad.
Adapun manfaat harta diantaranya :
1. Untuk
menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas (mahdhah), sebab untuk ibadah
memerlukan alat-alat seperti kain untuk menutup aurat dalam pelaksanaan shalat,
bekal untuk melaksanakan ibadah haji, berzakat, shadaqah, hibbah dan yang
lainnya.
2. Untuk
meningkatkan keimanan (ketaqwaan) kepada Allah.
3. Untuk
menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat (HR Bukhari)
:
Artinya
: Bukanlah orang yang baik, yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah
akhirat, dan meninggalkan masalah akhirat untuk urusan duniawi, sehingga
seimbang diantara keduanya. Karena masalah dunia adalah menyampaikan manusia
kepada masalah akhirat.
4. Untuk
meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode berikutnya.(QS An-Nisa :9)
Artinya
: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di
belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
5. Untuk
mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu, karena menurut ilmu tanpa modal akan
tersa sulit, seperti sesorang tidak bisa kuliah di perguruan tinggi bila ia
tidak memiliki biaya.
6. Untuk
memutarkan (mentasharuf) peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan
tuan. Adanya orang kaya dan miskin sehingga antara pihak saling membutuhkan
karena itu tersusunlah masyarakat yang harmonis dan berkecukupan.
7. Untuk
menumbuhkan silahturrahim, karena adanya perbedaan dan keperluan sehingga
terjadilah interaksi dan komunikasi silaturrahim dalam rangka saling mencukupi
kebutuhan.
8. Sebagai
amanat (titipan)
IV. PEMBAGIAN JENIS-JENIS HARTA
Menurut
Fuqaha’ harta dapat ditinjau dari beberapa bagian yang setiap bagian memilik
cirri-ciri khusus dan hukumnya tersendiri yang berdampak atau berkaitan dengan
beragam hukum (ketetapan). Namun, pada pembahasan ini hanya akan dijelaskan
beberapa bagian yang masyhur yaitu sebagai berikut :
1. Mal Mutaqawwim
dan Ghair al-Mutaqawwim
a. Harta
Mutaqawwim
ialah sesuatu yang
memiliki nilai dari segi hukum syar’I”. Yang dimaksud harta Mutaqawwim dalam pembahasan ini ialah
segala sesuatu yang dapat dikuasai dengan perkerjaan dan dibolehkan syara’
untuk memanfaatkannya. Pemahaman tersebut bermakna bahwa tiap pemanfaatan atas
sesuatu berhubungan erat dengan ketentuan nilai positif dari segi hukum, yang
terkait pada cara perolehan maupun penggunaannya.
Misalnya, kerbau halal dimakan oleh umat
islam, tetapi, apabila kerbau tersebut disembelih tidak menurut syara’, semisal
dipukul. Maka daging kerbau tersebut tidak bisa dimanfaatkan karena cara
penyembelihannya batal (tidak sah) menurut syara’.
b. Harta
Ghair al-Mutaqawwim
Ialah sesuatu yang tidak memiliki nilai
dari segi hukum syar’i. Maksud pengertian harta Ghair al-Mutaqawwim merupakan kebalikan dari harta mutaqawwim, yakni segala sesuatu yang
tidak dapat dikuasai dengan perkerjaan dan dilarang oleh syara’ untuk
memanfaatkannya.
Harta dalam pengertian ini, dilarang
oleh syara’ diambil manfaatnya, terkait jenis benda tersebut dan cara
memperolehnya maupun penggunaannya. Misalnya babi termasuk harta Ghair al-Mutaqawwim , karena jenisnya.
Sepatu yang diperoleh dengan cara mencuri temasuk Ghair al-Mutaqawwim, karena cara memperolehnya yang haram. Uang
disumbangkan untuk pembangunan tempat pelacuran, termasuk Ghair al-Mutaqawwim karena penggunaannya dilanggar syara’.
Kadang-kadang harta mutaqawwim diartikan dengan dzimah,
yaitu sesuatu yang mempunyai nilai, seperti pandangan fuqaha’ : sesuatu
dinyatakan bermanfaat itu tidak dinilai dengan sendirinya, tetapi ia dilihat
dengan adanya akad sewa-menyewa yang dimaksudkan untuk memenuhi keperluan.
2. Mal Mitsli
dan Mal Qimi
a. Harta
Mitsli
Ialah harta yang ada persamaannya dalam
kesatuan-kesatuannya, dalam arti dapat berdiri sebagiannya di tempat yang lain
tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai. Dalam pembagian ini, harta diartikan
sebagai sesuatu yang memiliki persamaan atau kesetaraan di pasar, tidak ada
perbedaan yang pada bagian-bagiannya atau kesatuannya, yaitu perbedaan atau
kekurangan yang biasa terjadi dalam aktivitas ekonomi.
Harta mitsli terbagi atas empat bagian yaitu: harta yang ditakar, seperti
gandum, harta yang ditimbang, seperti kapas dan besi, harta yang dihitung,
seperti telur, dan harta yang dijual dengan meter, seperti kain, papan, dan
lain-lainnya.
b. Harta
Qimi
Yaitu harta yang tidak mempunyai
persamaan di pasar atau mempunyai persamaan, tetapi ada perbedaan menurut
kebiasaan antara kesatuannya pada nilai, seperti binatang dan pohon.
Dengan perkataan lain, pengertian kedua
jenis harta di atas ialah mitsli
berarti jenisnya mudah ditemukan atau diperoleh di pasaran (secara persis), dan qimi suatu benda yang jenisnya sulit didapatkan
serupanya secara persis, walau bisa ditemukan, tetapi jenisnya berbeda dalam
nilai harga yang sama. Jadi, harta yang ada duanya disebut mitsli dan harta yang tidak duanya secara tepat disebut qimi.
Perlu
diketahui bahwa harta yang dikatagorikan sebagai qimi ataupun mitsli tersebut
bersifat amat relatif dan kondisional. Artinya bisa saja di suatu tempat atau
negara yang satu menyebutnya qimi dan
di tempat yang lain menyebutnya mitsli
3. Mal Istihlak
dan Mal Isti’mal
a. Harta
istihlak
Yaitu sesuatu yang tidak dapat diambil
kegunaan dan manfaatnya, kecuali dengan menghabiskannya atau merusak dzatnya.
Harta dalam katagori ini ialah harta sekali pakai, artinya manfaat dari benda
tersebut hanya bisa digunakan sekali saja.
Harta istihlak dibagi menjadi dua, yaitu istihlak haqiqi dan istihlak
huquqi. Istihlak haqiqi yaitu suatu benda yang menjadi harta yang secara
jelas (nyata) dzatnya habis sekali digunakan. Misalnya makanan, minuman, kayu
bakar dan sebagainya.
Sedangkan istihlak huquqi ialah harta yang sudah habis nilainya bila telah
digunakan, tetapi dzat nya masih ada. Misalnya uang, uang yang digunakan untuk
membayar hutang, dipandang habis menurut hukum walaupun uang tersebut masih
utuhm hanya pindah kepemilikan.
b. Harta Isti’mal
Ialah harta yang dapat digunakan
berulang kali, artinya wujud benda tersebut tidaklah habis atau musnah dalam
sekali pemakaian, seperti kebun, tempat tidur, baju, sepatu, dan lain
sebagainya.
Dengan demikian, perbedaan antara dua
jenis harta tersebut di atas, terletak pada dzat benda itu sendiri, mal
istihlak habis dzatnya dalam sekali pemakaian dan mal isti’mal tidak habis
dalam sekali pemanfaatan (bisa dipakai berulang-ulang).
4. Mal Manqul
dan Mal Ghair al-Manqul
a. Harta
Manqul
Ialah segala macam sesuatu yang dapat
dipindahkan dan diubah dari tempat satu ketempat yang lain, baik tetap pada
bentuk dan keadaan semula ataupun berubah bentuk dan keadaannya dengan
perpindahan dan perubahan tersebut. Harta dalam katagori ini mencakup uang,
barang dagangan, macam-macam hewan, kendaraan, macam-macam benda yang ditimbang
dan diukur.
b. Harta
Ghair al-Manqul atau Al-Aqar
Ialah segala sesuatu yang tetap (harta
tetap), yang tidak mungkin dipindahkan dan diubah posisinya dari satu tempat ke
tempat yang lain menurut asalnya, seperti kebun, rumah, pabrik, sawah, dan
lainnya. Dalam ketentuan kitab undang-undang hukum perdata, istilah Mal Manqul dan Mal Ghair al-Manqul (al-Aqar) diartikan dengan istilah benda
bergerak dan atau benda tetap
5. Mal ‘Ain
dan Mal Dayn
a. Harta
‘Ain
Ialah harta yang berbentuk benda,
seperti rumah, pakaian, beras, kendaraan, dan yang lainnya. Harta ‘Ain dibagi
menjadi 2 bagian :
1.
Harta ‘Ain Dzati Qimah yaitu benda yang memiliki bentuk yang dipandang
sebagai harta karena memiliki nilai. Harta ‘ain
dzati qimah meliputi :
a. Benda
yang dianggap harta yang boleh diambil manfaatnya.
b. Benda
yang dianggap harta yang tidak boleh diambil manfaatnya.
c. Benda
yang dianggap sebagai harta yang ada sebangsanya.
d. Benda
yang dianggap harta yang tidak ada atau sulit dicari sepadanya yang serupa.
e. Benda
yang dianggap harta berharga dan dapat dipindahkan (bergerak)
f. Benda
yang dianggap harta berharga dan tidak dapat dipisahkan (tetap)
2.
Harta ‘Ain Ghayr Dzati Qimah yaitu benda yang tidak dapat dipandang
sebagai harta, karena tidak memiliki nilai atau harga, misalnya sebiji beras.
b. Harta
Dayn
Ialah kepemilikan atas suatu harta
dimana harta masih berada dalam tanggung jawab seseorang, artinya si pemilik
hanya memiliki harta tersebut, namun ia tidak memiliki wujudnya dikarenakan
berada dalam tanggungan orang lain.
Menurut Hanafiyah harta tidak dapat
dibagi menjadi harta ‘ain dan dayn karena konsep harta menurut
hanafiyah merupakan segala sesuatu yang berwujud (kongkrit), maka bagi sesuatu
yang tidak memiliki wujud riil
tidaklah dapat dianggap sebagai harta, semisal hutang. Hutang tidak dipandang
sebagai harta, tetapi hutang menurut Hanafiyah merupakan sifat pada tanggung
jawab (washf fii al-dzimmah)
6. Mal ‘Aini
dan Mal Naf’I (manfaat)
a. Harta
al- ‘Aini ialah benda yang memiliki nilai dan berbentuk (berwujud), misalnya
rumah, ternak, dan lainnya.
b. Harta
an-Nafi’ ialah a’radl yang
berangsunr-angsur tumbuh menurut perkembangan masa, oleh karena itu mal al-Naf’I tidak berwujud dan tidak
mungkin disimpan.
Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah
berpendapat bahwa harta ‘ain dan
harta naf’i memiliki perbedaan, dan
manfaat dianggap sebagai harta mutaqawwim
karena manfaat adalag maksud yang diharapkan dari kepemilikan suatu harta
benda.
7.
Mal
Mamluk, Mubah dan Mahjur
a. Harta
Mamluk
ialah sesuatu yang merupakan hak milik
baik milik perorangan maupun milik badan seperti pemerintah dan yayasan. Harta mamluk terbagi menjadi dua macam, yaitu
:
1. Harta
perorangan (mustaqih) yang berpautan
dengan hak bukan pemilik, misalnya rumah yang dikontrakkan. Harta perorangan
yang tidak berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya seorang yang mempunyai
sepasang sepatu dapat digunakan kapan saja.
2. Harta
pengkongsian antara dua pemilik yang berkaitan dengan hak yang bukan
pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik dan lima
buah mobil, salah satu mobilnya disewakan selama satu bulan kepada orang lain.
Harta yang dimiliki oleh dua orang yang tidak berkaitan dengan hak bukan pemiliknya,
semisal dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik, maka pabrik tersebut
di hasruslah dikelola bersama.
b. Harta
Mubah
Yaitu sesuatu yang pada asalnya bukan
merupakan hak milik perseorangan seperti air pada air mata, binatang buruan
darat, laut, pohon-pohon di lautan dan buah-buahannya. Tiap-tiap manusia boleh
memiliki harta mubah sesuai dengan kesanggupannya, orang yang mengambilnya akan
menjadi pemiliknya, sesuai dengan kaidah : “Barang siapa yang membebaskan harta
yang tidak bertuan, maka ia menjadi pemiliknya”
c. Harta
Mahjur
Yaitu harta yang dilarang oleh syara’
untuk dimiliki sendiri dan memberikannya kepada orang lain. Adakalanya harta
tersebut berbentuk wakaf ataupun benda yang dukhususkan untuk masyarakat umum,
seperti jalan raya, masjid-masjid, kuburan-kuburan, dan yang lainnya.
8. Harta
Yang Dapat Dibagi dan Harta Yang Tidak Dapat Dibagi
a. Harta
yang dapat dibagi (mal qabil li al-qismah)
ialah harta yang tidak menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan bila harta itu
dibagi-bagi, misalnya beras, jagung, tepung dan sebagainya.
b. Harta
yang dapat dibagi (mal ghair al-qabil li
al-qismah) ialah harta yang menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan
apabila harta tersebut dibagi-bagi misalnya gelas, kemeja, mesin dan
sebagainya.
9. Harta
Pokok (ashl) dan Harta Hasil (tsamar)
a. Harta
pokok ialah harta yang memungkinkan darinya muncul harta lain
b. Harta
hasil ialah harta yang muncul dari harta lain (harta pokok)
Pokok harta juga bisa disebut modal,
misalnya uang, emas, dan yang lainnya, contoh harta pokok dan harta hasil ialah
bulu domba dihasilkan dari domba, maka domba merupakan harta pokok dan bulunya
merupakan harta hasil, atau kebau yang beranak, anaknya dianggap sebagai tsamarah dan induknya yang melahirkan
disebut harta pokok.
10. Mal Khas
dan Mal ‘Am
a. Harta
khas ialah harta pribadi, tidak
bersekutu dengan yang lain, tidak boleh diambil manfaatnya tanpa disetujui
pemiliknya.
b. Harta
‘Am ialah harta milik umum (bersama)
yang boleh diambil manfaatnya secara bersama-sama.
Harta yang dapat
dikuasai (ikhraj) terbagi menjadi dua
bagian yaitu :
a) Harta
yang termasuk milik perseorangan
b) Harta-harta
yang tidak dapat termasuk milik perseorangan
Harta
yang dapat masuk menjadi milik perseorangan, ada dua macam yaitu :
a. Harta
yang bisa menjadi milik perorangan, tetapi belum ada sebab pemilikan, misalnya
binatang buruan di hutan.
b. Harta
yang bisa menjadi milik perorangan dan sudah ada sebab kepemilikan misalnya
ikan di sungai diperoleh seseorang dengan cara memancing.
c. Harta
yang tidak masuk milik perorangan adalah harta yang menurut syara’ tidak boleh
dimiliki sendiri, misalnya sungai, jalan raya dan yang lainnya.
Dari
kesepuluh pembagian jenis-jenis harta yang telah diuraikan di atas, secara
global konsep harta dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1.
Mal
at-Tam yaitu harta yang merupakan hak milik sempurna baik
dari segi wujud benda tersebut maupun manfaatnya, pengertian harta ini disebut
juga Milk at-Tam berarti kepemilikan
sempurna atas unsure hak milik dan hak penggunaannya.
2.
Mal
Ghair al-Tam yaitu harta yang bukan merupakan hak
milik sempurna baik dari segi wujud benda tersebut maupun dari segi manfaatnya,
pengertian harta ini disebut juga Milk
an-Naqis yang berarti kepemilikan atas unsur harta hanya dari satu segi
saja. Semisal hak pakai rumah kontrakan dan sebagainya.
Thanks.
BalasHapusTulisannya sangat membantu.
Jangan lupa kunjungi blog saya juga ya :)
Good
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTerimakasih
BalasHapusSlot Machines & Poker Review - DRMCD
BalasHapusSlot Machines and Poker is the first casino to go live with the latest software from the developers 영주 출장샵 of casino games. 포천 출장마사지 In 공주 출장마사지 this review, we look at the 의왕 출장마사지 overall quality of 논산 출장샵